Meinawati Prastutiningsih
Gegap gempita Pemilu telah sehari berlalu.  Pemilu yang oleh sebagian kalangan dianalogikan dengan sebuah “pesta”.  Pesta?  Yach, mungkin buat sebagian besar partai, terutama partai baru dan gurem, momen ini memang bisa dibilang pesta.  Siapa yang menyangkal?  Karena negara (a.k.a rakyat jelata), telah menggelontorkan milyaran rupiah, hanya untuk membiayai sebuah partai, agar partai tersebut dapat mempersiapkan diri menghadapi Pemilu.  Apakah dana yang turun benar-benar untuk membiayai persiapan partai menghadapi Pemilu?  Wallahualam…hanya Tuhan yang tahu..

Menarik menyikapi pernyataan beberapa elit politik yang mengatakan perlunya mempersiapkan rumah sakit jiwa, untuk mengantisipasi banyaknya pasien pasca Pemilu.  Bukan rahasia lagi, bahwa banyak caleg yang mati-matian mengumpulkan dana, dengan cara-cara yang menurutku berlebihan bahkan cenderung “mengkhawatirkan”.  Media massapun tak lepas beberapa kali memberitakan hal ini.  Ada yang menjual atau menggadaikan rumahnya sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman bank.  Sedangkan yang kelas gurem, yang mereka lakukan adalah menjual semua peralatan rumah tangganya, bahkan sampai kompor sekalipun.

“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan mereka nanti, kalau ternyata mereka tidak terpilih” kataku, mengomentari berita di tv, tentang seorang pedagang jus buah, yang merelakan blendernya dijual, agar dapat berkampanye sebagai caleg.  Seorang teman mengernyitkan kening, “Aku malah tidak bisa membayangkan apa jadinya negara, kalau mereka yang terpilih nanti”  sambarnya ketus.  Hmm, benar juga..

Bukan rahasia lagi, kalau masing-masing caleg harus mengumpulkan dana yang tidak sedikit untuk kampanye.  Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya, poster bahkan baliho berukuran raksasa, yang terpampang di sepanjang jalan yang kita lewati.  Lalu, seakan-akan menjadi hal wajar bahkan keharusan, bila nantinya mereka terpilih, mereka akan mencari pemasukan sebanyak-banyaknya untuk mengganti modal yang mereka keluarkan.  Dan terciptalah alasan untuk korupsi berjamaah..

Seorang teman di Bappenas menceritakan, betapa calon yang berkualitas dari banyak partai hanya sampai urutan tidak lebih dari 5.  Sisanya, siapapun bisa mengisinya.  Tak heranlah, bila DPR/DPRD akhirnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak berkualitas, yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk negara ini, yang tidak punya empati terhadap rakyat kecil yang notebene adalah “majikannya”.   Tapi mereka tahu pasti apa yang harus mereka lakukan, untuk diri mereka sendiri, sebelum periode 5 tahun mereka berakhir.

Ah, sepertinya rakyat dan negaraku memang belum merdeka.  (Mn, Juli 2009)
Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment