Meinawati Prastutiningsih
Pemilu telah sehari berlalu.  Pemilu yang pastinya meninggalkan perasaan harap-harap cemas, terutama buat simpatisan dan kader partai yang mengharapkan namanya masuk dalam daftar mereka yang memperoleh kursi.

Buat warga?  Sebagian dengan optimis menitipkan harapan pada partai pilihannya.  Sebagian skeptis akan terwujudnya harapan, tapi masih mempercayakannya pada satu partai.  Sebagian lagi, skeptis dan sama sekali tidak melihat adanya harapan dari satu partai.

Aku?  Sama halnya dengan pemilu-pemilu yang lalu, kali ini aku masih memilih untuk tidak memilih.  Hmm, pilihan yang belakangan ini semakin populer, tetapi tetap tidak direstui kalangan politikus yang berkepentingan, bahkan diharamkan..:D

Alasannya?  Banyak....Tapi ada satu kalimat yang bisa menggambarkan semua alasan itu : aku tidak mau menyesal, dengan memilih orang yang nantinya akan lebih banyak mendatangkan kekecewaan dan kesengsaraan buat rakyat.

“Tidak konsisten.  Tidak mau ambil peranan dalam Pemilu, tetapi mau menikmati hasil pembangunan” suara mengecam itu bukan sekali dua terdengar.  Lho, kenapa harus diributkan?  Bukannya semua partai  menjanjikan pembangunan tersebut bukan hanya untuk pendukungnya, tetapi untuk semua rakyat, termasuk yang tidak mendukungnya?  Jadi kenapa mesti diributkan..

“Kamu bukan warganegara yang baik” satu lagi suara kecaman.  Hmm, rasanya aku adalah warganegara yang baik ya… Aku tidak pernah lalai membayar pajak.  Aku menaati semua peraturan yang ditetapkan negara.  Aku bukan pengedar miras atau narkoba yang merusak fisik dan mental anak bangsa.  Aku bukan koruptor yang makan uang rakyat untuk kepentingan pribadi.  Butuh bukti apalagi?  Lalu apakah dengan tidak memilih, lalu status kewarganegaraanku jatuh, jauh di bawah mereka yang jelas-jelas merugikan bangsa dan negara? 

Buatku, bangsa dan negara ini hanya memerlukan orang-orang yang memang berkomitmen untuk kemajuan bangsa dan negara.  Kenapa elit politik tidak dapat menahan ego masing-masing, lalu membatasi diri, dengan hanya memunculkan maksimal 5 partai besar?  Kenapa masing-masing merasa partai yang ada tidak dapat mewakili aspirasiya, sehingga mereka memilih membentuk partai baru yang belum tentu akan tetap bertahan hidup setahun setelah Pemilu?  Kenapa masing-masing merasa yakin, bahwa hanya partainya yang akan membawa kebaikan?  Kenapa setelah terpilih, wakil rakyat malah banyak yang melupakan “majikan” yang memilihnya?

Aku bersyukur, bahwa almarhum ayahku (saat itu dari fraksi ABRI) hanya satu periode menjalankan peranan dengan dedikasi tinggi sebagai wakil rakyat. Tawaran untuk bergabung dengan partai besar berwarna kuning, ditolaknya.  Alasannya sederhana,  “Aku sudah tahu seperti apa yang ada di dalam sana.  Dan aku memilih untuk membaktikan diri dari luar dan tidak akan pernah kembali kesana”.   Ah, aku bangga padamu Yah….. (Mn, Juli 2009)
Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment