Meinawati Prastutiningsih
Katakan...
apakah semua orang butuh rumah untuk pulang?
aku juga..
setelah begitu banyak jarak dan waktu kutempuh,
aku ingin pulang....padamu
karena kaulah rumah bagi jiwaku.


Saga Merah (nama alias yg aku pergunakan saat mempublikasikan puisi ini di satu milis)
Jakarta, 11/03/05
Labels: 0 comments | edit post
Doa
Meinawati Prastutiningsih
bila kekuasaan menafikan apa yang hamba tahu sebagai kebenaran
bila kebenaran menguap lepas ke udara dari tahang berarangkan uang
lalu apa hak hamba selaku rakyat jelata?
masihkah hamba punya  hak untuk bicara?
masihkah anak-anak hamba bisa menggapai cita?
masihkah kaum miskin papa mengenal keadilan yang sulit didapatnya?
Tuhan…, hamba takut
mohon jagalah hamba
agar hamba tak menjadi serakah akan dunia
agar hamba tak menjadi bagian dari mereka
yang lupa bahwa dunia ini fana adanya
yang lupa bahwa Engkaulah maha pemilik segala
mohon dengan sangat Tuhan….
Amin  
 
Saga Merah
Jakarta, 11/02/04
(prihatinku atas bungkamnya kebenaran)
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Wahai penguasa hati….
Susah payah kucoba tipu diri
Setengah mati kucoba ingkari rasa ini
Tapi kau khianati aku
Dengan jujur dan manis, kau sambut cinta lama hadir kembali

Wahai penguasa mimpi…
Kenapa kau semai lagi indahnya harapan
Setelah kuretas tuntas dan kubuang benih-benih mimpi
Tapi kau  ….
Dengan setiamu kau jaga benih harapan, menggadangnya menjadi tunas

Wahai diri…
Kenapa tak kuasa berpaling lagi?

Saga Merah
Jakarta, 07/10/07

Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Lalu apa..?

Tanyaku menggantung…, tak berjawab
Tatapku nanar menangkap lidah kelu dan mata murungmu
Waktu melintas lagi secepat angin
Tanyaku tetap menggantung.., tak berjawab
Tapi sesayup kudengar suaramu

“ aku mencintaimu, tapi aku tak berani memilikimu…”

Saga Merah
Jakarta, 07/10/07
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Ada bimbang menghunjam kian dalam
Tak mau pergi
Ada galau meraja kian pasti
Tak kumengerti
Ada rindu membias malu-malu
Tapi masihkah berarti…?

Saga Merah (nama alias yg aku pergunakan waktu mempublikasikan puisi ini di satu milis)
Jakarta, ../12/03
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
laki-laki terlarang itu
dulu pernah datang dengan cinta
atas nama cinta

laki-laki terlarang itu

hadir lagi sekarang
tetap atas nama cinta
menawarkan cinta yang sama
ahh...aku tergoda
sungguh
tapi aku tak mampu bilang ya

Saga Merah
Jakarta, 25/03/04
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
I
Bila aku boleh titipkan rasa pada bulan
Kan kulakukan itu
Agar saat kau tatap langit berpurnama
Kau bisa rasakan pendar cintaku dalam hangat cahya keemasannya

II
Bulan berjalan dalam kepastian
meninggalkan malam dengan kepasrahan
Mengantarkan pagi pada sang surya
Menemani pagi walau sinarnya tiada

Saga Merah
Jakarta, 24/04/04
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
(Rinduku padamu tak bertepi, smsmu siang ini)
……….
……….
Rindu, bukankah sebaiknya tak bertepi?
Karena kita tak tahu apa yang ada di tepiannya
Bila aku sampai di tepian rinduku,
Akankah aku tetap merasa rindu padamu?
Ataukah rinduku berakhir begitu saja?
Karena tepian adalah akhir..

Saga merah,
Jakarta , 06/05/04
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Berat puasaku kali ini, mas..
Kau ganggu khusukku
Aku khusuk menahan lapar mataku
Aku khusuk menahan dahaga lidahku dari ucapan yang tak perlu
Aku khusuk menahan hatiku dari iri dan riya
Tapi sungguh aku tak kuasa menahan pikiranku darimu
Sungguh pikiranku lapar dan dahaga kan dirimu..

Saga Merah
Jakarta,  22/10/04
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Langkah demi langkah,
kuambil
walau jujur ku tak tau arah


Saga Merah
(nama alias yg aku pergunakan waktu mempublikasikan puisi ini di satu milis)
Jakarta, 13/03/05


Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Adakah yang lebih menyakitkan
Selain merindukan seseorang yang juga merindukanmu
Tapi belenggu tak kasat mata menahan langkahmu

Adakah yang lebih dalam
Selain keikhlasan melepaskan kecintaanmu
Walaupun itu berarti meluluhlantakkan hatimu sendiri

Adakah yang lebih berarti
Selain kesabaran meniti waktu mewujudkan takdirmu

Ah, andai aku tau pasti bahwa kaulah memang takdirku...

Saga Merah (nama alias yg aku pergunakan waktu mempublikasikan puisi ini di satu milis)
14/02/06
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Menatap hadirmu tak pernah cukup buatku
Rindu yang membuncah deras di tiap aliran darahku
Menggapaikan tanganku menyentuhmu, merasaimu

Mendengar alun suaramu tak pernah puaskan telingaku
Sejuknya, iramanya, bawaku melayang
Membuatku ingin mencerap semua bahasa dan katamu,
bahkan yang tak terucap sekalipun

Memandang dalam-dalam ke bola matamu tak pernah bosankan aku
Walau getarnya membuat luluh tulang-tulangku
Aku boneka lilin tanpa daya di bawah tatapanmu
 
Bahwa akhirnya ketidakpastian dan ketidakyakinan
Membuat aku tak berdaya
Membuat aku tak berani
Memaksaku menahan diri untuk merengkuhmu dalam duniaku
Tapi sungguh aku kangen kamu…


saga merah (nama alias yg aku pakai mempublikasikan puisi ini di satu milis)
Jakarta, 15/01/04


Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Pemilu baru sehari berlalu.  Tapi seminggu sebelumnya, simpatisan dan kader masing-masing partai telah bekerja keras membersihkan poster dan baliho, yang terpampang di sepanjang jalan.  Hmm, ternyata bersih-bersih tersebut membuat mata menjadi nyaman..

Menarik mengamati fenomena yang terjadi dalam Pemilu tahun ini.  Tahun ini masing-masing caleg boleh menampilkan dirinya.  Sehingga tak heranlah mereka berlomba-lomba membuat poster dengan pose terbaik, slogan yang paling mengena dan ukuran yang menyakitkan mata, tetapi hasilnya malah berkesan konyol.

Menarik juga mengamati bagaimana partai berlomba-lomba meminang artis sebagai vote getter, dengan menjadikan mereka caleg partainya.  Aku sama sekali tidak anti artis yang mencalonkan diri menjadi caleg.  Tetapi buatku, lebih penting bila sebelumnya mereka yakin bahwa memang mereka memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk tugas tersebut.  Sayangnya, dari pernyataan beberapa artis di media semakin memperkuat persepsiku bahwa caleg artis tersebut, sebagian besar, memang tidak ada apa-apanya.  Simak pernyataan menarik mereka :
·         Artis VM “Saya akan memasyarakatkan senam kepada seluruh rakyat”  (Bu, buat rakyat yang penting kayaknya sandang-pangan-papan-pendidikan dulu deh…)
·         Artis TF “Selama ini saya memilih tanpa tahu siapa yang saya pilih.  Sekarang, rakyat dapat memilih saya karena mereka tau siapa saya..” (Pak, lha mereka memilih sampeyan kan karena tau sampeyan artis, tapi apa sampeyan yakin mereka tau kerja sampeyan?).  Lebih lanjut, artis ini menjelaskan sekelumit rencana kerjanya, dengan melakukan studi banding ke luar negeri, dengan mengambil pengalaman sewaktu dirinya ke luar negeri (Lah, belum-belum udah ketahuan maunya jalan-jalan doang, lagipula jalan-jalan jadi turis mah yang diperoleh beda atuh..)

Fenomena lain, banyak keluarga selebritis yang memanfaatkan popularitas mereka dengan menampilkannya di poster.  Sehingga jangan heran, bila menemukan poster dengan informasi “ayah si ini atau si anu..” (herannya kebanyakan memang ayah yang nebeng popularitas anaknya).  Kalau memang benar ayah si ini atau si anu, trus kenapa memangnya?

Untuk caleg yang bukan dari kalangan selebritis, mereka melakukan hal yang sama dengan penekanan yang berbeda, seperti : “anak/ keponakan/ cucu dari kyai…..”,  “murid ustadz….” ; “anak dari pengusaha/politikus….”.  Yang lebih seru lagi terjadi di daerah.  Ada satu poster caleg perempuan yang bertuliskan “Istri Aa Fery…”  Lah, emang di dunia cuma ada satu nama Fery ya…

Hmm, jadi kumat nih jahilnya… Kalo aku disuruh membuat poster seperti itu, maka aku akan membuat seperti ini….
“Caleg Mn, anak dari ayah ibunya, cucu dari kakek neneknya, tetangga dari tetangganya…”   Hehe..gak penting.  Sudah ah… (Mn, Juli 2009)
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Gegap gempita Pemilu telah sehari berlalu.  Pemilu yang oleh sebagian kalangan dianalogikan dengan sebuah “pesta”.  Pesta?  Yach, mungkin buat sebagian besar partai, terutama partai baru dan gurem, momen ini memang bisa dibilang pesta.  Siapa yang menyangkal?  Karena negara (a.k.a rakyat jelata), telah menggelontorkan milyaran rupiah, hanya untuk membiayai sebuah partai, agar partai tersebut dapat mempersiapkan diri menghadapi Pemilu.  Apakah dana yang turun benar-benar untuk membiayai persiapan partai menghadapi Pemilu?  Wallahualam…hanya Tuhan yang tahu..

Menarik menyikapi pernyataan beberapa elit politik yang mengatakan perlunya mempersiapkan rumah sakit jiwa, untuk mengantisipasi banyaknya pasien pasca Pemilu.  Bukan rahasia lagi, bahwa banyak caleg yang mati-matian mengumpulkan dana, dengan cara-cara yang menurutku berlebihan bahkan cenderung “mengkhawatirkan”.  Media massapun tak lepas beberapa kali memberitakan hal ini.  Ada yang menjual atau menggadaikan rumahnya sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman bank.  Sedangkan yang kelas gurem, yang mereka lakukan adalah menjual semua peralatan rumah tangganya, bahkan sampai kompor sekalipun.

“Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan mereka nanti, kalau ternyata mereka tidak terpilih” kataku, mengomentari berita di tv, tentang seorang pedagang jus buah, yang merelakan blendernya dijual, agar dapat berkampanye sebagai caleg.  Seorang teman mengernyitkan kening, “Aku malah tidak bisa membayangkan apa jadinya negara, kalau mereka yang terpilih nanti”  sambarnya ketus.  Hmm, benar juga..

Bukan rahasia lagi, kalau masing-masing caleg harus mengumpulkan dana yang tidak sedikit untuk kampanye.  Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya, poster bahkan baliho berukuran raksasa, yang terpampang di sepanjang jalan yang kita lewati.  Lalu, seakan-akan menjadi hal wajar bahkan keharusan, bila nantinya mereka terpilih, mereka akan mencari pemasukan sebanyak-banyaknya untuk mengganti modal yang mereka keluarkan.  Dan terciptalah alasan untuk korupsi berjamaah..

Seorang teman di Bappenas menceritakan, betapa calon yang berkualitas dari banyak partai hanya sampai urutan tidak lebih dari 5.  Sisanya, siapapun bisa mengisinya.  Tak heranlah, bila DPR/DPRD akhirnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak berkualitas, yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk negara ini, yang tidak punya empati terhadap rakyat kecil yang notebene adalah “majikannya”.   Tapi mereka tahu pasti apa yang harus mereka lakukan, untuk diri mereka sendiri, sebelum periode 5 tahun mereka berakhir.

Ah, sepertinya rakyat dan negaraku memang belum merdeka.  (Mn, Juli 2009)
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Pemilu telah sehari berlalu.  Pemilu yang pastinya meninggalkan perasaan harap-harap cemas, terutama buat simpatisan dan kader partai yang mengharapkan namanya masuk dalam daftar mereka yang memperoleh kursi.

Buat warga?  Sebagian dengan optimis menitipkan harapan pada partai pilihannya.  Sebagian skeptis akan terwujudnya harapan, tapi masih mempercayakannya pada satu partai.  Sebagian lagi, skeptis dan sama sekali tidak melihat adanya harapan dari satu partai.

Aku?  Sama halnya dengan pemilu-pemilu yang lalu, kali ini aku masih memilih untuk tidak memilih.  Hmm, pilihan yang belakangan ini semakin populer, tetapi tetap tidak direstui kalangan politikus yang berkepentingan, bahkan diharamkan..:D

Alasannya?  Banyak....Tapi ada satu kalimat yang bisa menggambarkan semua alasan itu : aku tidak mau menyesal, dengan memilih orang yang nantinya akan lebih banyak mendatangkan kekecewaan dan kesengsaraan buat rakyat.

“Tidak konsisten.  Tidak mau ambil peranan dalam Pemilu, tetapi mau menikmati hasil pembangunan” suara mengecam itu bukan sekali dua terdengar.  Lho, kenapa harus diributkan?  Bukannya semua partai  menjanjikan pembangunan tersebut bukan hanya untuk pendukungnya, tetapi untuk semua rakyat, termasuk yang tidak mendukungnya?  Jadi kenapa mesti diributkan..

“Kamu bukan warganegara yang baik” satu lagi suara kecaman.  Hmm, rasanya aku adalah warganegara yang baik ya… Aku tidak pernah lalai membayar pajak.  Aku menaati semua peraturan yang ditetapkan negara.  Aku bukan pengedar miras atau narkoba yang merusak fisik dan mental anak bangsa.  Aku bukan koruptor yang makan uang rakyat untuk kepentingan pribadi.  Butuh bukti apalagi?  Lalu apakah dengan tidak memilih, lalu status kewarganegaraanku jatuh, jauh di bawah mereka yang jelas-jelas merugikan bangsa dan negara? 

Buatku, bangsa dan negara ini hanya memerlukan orang-orang yang memang berkomitmen untuk kemajuan bangsa dan negara.  Kenapa elit politik tidak dapat menahan ego masing-masing, lalu membatasi diri, dengan hanya memunculkan maksimal 5 partai besar?  Kenapa masing-masing merasa partai yang ada tidak dapat mewakili aspirasiya, sehingga mereka memilih membentuk partai baru yang belum tentu akan tetap bertahan hidup setahun setelah Pemilu?  Kenapa masing-masing merasa yakin, bahwa hanya partainya yang akan membawa kebaikan?  Kenapa setelah terpilih, wakil rakyat malah banyak yang melupakan “majikan” yang memilihnya?

Aku bersyukur, bahwa almarhum ayahku (saat itu dari fraksi ABRI) hanya satu periode menjalankan peranan dengan dedikasi tinggi sebagai wakil rakyat. Tawaran untuk bergabung dengan partai besar berwarna kuning, ditolaknya.  Alasannya sederhana,  “Aku sudah tahu seperti apa yang ada di dalam sana.  Dan aku memilih untuk membaktikan diri dari luar dan tidak akan pernah kembali kesana”.   Ah, aku bangga padamu Yah….. (Mn, Juli 2009)
Labels: 0 comments | edit post
Meinawati Prastutiningsih
Entah kenapa tiba-tiba ingatanku melayang pada film dengan judul di atas.  Film yang dibintangi almarhum Heath Ledger dan Jake Gylenhall, menurutku termasuk film yang “berani’.  Memang ini bukan film pertama yang mengangkat cerita tentang kaum homoseksual, karena aku masih ingat ada Philadelphia.  Tetapi kekuatan emosi pemainnya jauh lebih besar eksplorasinya dibandingkan dengan Philadelphia, yang lebih banyak menyoroti masalah hukum.

Jujur, menonton film ini membuatku menangis.  Aku seakan-akan terhanyut pada ketulusan dan “kedalaman” cinta dua orang manusia, yang oleh sebagian besar masyarakat masih menganggapnya terlarang.  Padahal, kalau mau jujur, cinta terlarang tersebut sudah ada hampir sepanjang usia manusia. 

Aku pribadi, memandang masalah homoseksual adalah masalah yang sangat personal.  Itu adalah hak hidup dan pilihan seseorang.  Aku mengenal beberapa teman yang akhirnya mengaku, bahwa mereka gay/lesbian.  Sungguh, buat mereka bukan hal yang mudah untuk mengakui dan mengekspos pilihan hidup mereka kepada keluarga dan masyarakat.  Cap bahwa homoseksual adalah hal yang tidak wajar, membuat mereka menempatkan diri mereka dalam posisi yang rentan terhadap cemooh orang lain. 

Beberapa tahun sebelum film Brokeback Mountain diputar, aku sempat menemukan buku dengan judul sangat provokatif “Lelaki Terindah” karangan Andrei Aksana.  Buku pertama yang memperkenalkanku pada buku-buku karangan Andrei Aksana berikutnya.  Pertama melihat buku ini, aku terpesona dengan deretan puisi di halaman belakang yang buatku sangat indah.  Saat itu aku, yang sedang mabuk asmara pada pria pujaanku..hmm..hmm..:), mengira bahwa puisi tersebut dibuat oleh seorang perempuan untuk kekasihnya.  Siapa sangka, bahwa ternyata puisi tersebut dibuat oleh seorang pria untuk “lelaki terindah” dalam hidupnya.  Coba aja simak ini :

Suatu ketika dulu
Aku pernah dihanyut asmara

Tapi tak pernah ku tenggelam
Karena kekuatan cintamu
Menjadi perahu dan dayungku

Hanya engkaulah yang mampu
Melenyapkan ragu menjadi tahu
Memupuskan kelu menjadi deru

Hanya engkaulah yang bisa
Menggantikan tawar menjadi rasa
Menghadirkan tiada menjadi ada

Karena hanya engkaulah...
Lelaki terindah di hidupku     (Lelaki Terindah - Andrei Aksana)

Saat membaca novel itu, aku sengaja membiarkan diriku terhanyut oleh perasaan dua orang yang saling mencinta tersebut.  Sehingga aku benar-benar bisa merasakan bahwa cinta mereka sama tulusnya, sama dalamnya, seperti cinta yang aku rasakan untuk lelaki terindah dalam hidupku (saat itu..hehe..). 

Kadang-kadang aku bisa merasakan kegamangan mereka, seperti yang aku rasakan dari teman-2ku, dalam menghadapi dunia di luar kaum mereka.  Bukan hal yang mudah untuk mereka, bersikap normal, di saat orang lain memandang mereka dengan tatapan aneh.  Aku tidak mau ikut-ikutan menghakimi mereka dengan masalah larangan dan dosa dalam agama.  Karena seperti yang aku katakan sebelumnya, itu adalah pilihan yang sangat pribadi dan biarlah masalah dosa  atau tidak, menjadi urusan antara mereka dengan Tuhannya. (Mn, 29/01/11)
Meinawati Prastutiningsih
Jum’at pagi, masih tetap berjuang di tengah kemacetan Jakarta.  Sesampai di kantor, dengan sedikit bergegas aku melangkah menuju jajaran lift di lantai dasar.  Huah, sudah lewat sepuluh menit dari jam resmi kantor.  Sambil menunggu lift, aku melayangkan pandangan ke arah satpam yang sedang bertugas.  Seorang bapak berusia lebih separuh baya, yang ramah dan selalu menyapaku bila bertemu, seperti pagi ini.

“Terlambat mbak? Macet ya?” sapaan seseorang membuatku memutar kepala ke arah datangnya suara.  Seorang gadis hitam manis, berambut lurus sebahu, dengan blus batik warna cerah, menatapku sambil tersenyum.  “Heh..iya…” jawabku singkat, sambil berusaha keras mengingat-ingat siapa gerangan si penyapa ini.  Di dalam lift, bahkan setelah dia keluar lift di lantai 5 sambil kembali melemparkan senyuman, aku masih tetap belum bisa mengingat siapa dia.

Hal tersebut segera terlupakan, karena aku langsung terbenam dalam tumpukan pekerjaan.  Menjelang istirahat makan siang, si penyapa muncul di dekat ruanganku, menyerahkan setumpuk surat pada administrasi kantorku.  Oh..aku baru ingat, ternyata si penyapa adalah Lala, office girl dari satu company dalam grup perusahaanku yang memang sering lalu lalang di kantorku.

Sesuatu langsung mengusikku.., betapa pendeknya ingatan seseorang.  Betapa ingatanku mengasosiasikan Lala hanya dengan seragamnya, sehingga bila dia tidak mengenakan seragamnya, ingatanku akan dia langsung blank, seperti kertas putih polos.

Aku tercenung.  Seberapa sering aku mengasosiasikan seseorang hanya dengan seragamnya?  Berapa banyak dari mereka yang tidak kukenali lagi bila mereka tidak berseragam?  Dengan malu hati, aku mengakui bahwa aku sering mengalaminya.  Sering aku merasa mengenal seseorang bila kebetulan aku melihatnya melintas, atau kebetulan mereka menyapaku, tapi tanpa aku tahu pasti siapa mereka.  Berarti, buatku mereka hanya “individu berseragam”, tak lebih tak kurang.  Ya ampun…aku malu. OK, aku punya satu pe-er pribadi.  Menanamkan pesan di kepalaku, bahwa mereka lebih dari sekedar seragam.  Mereka individu yang juga akan merasa dihargai, jika aku bisa – minimal – mengingat mereka, tanpa seragam mereka.  (Mn,10/04/09)